- Pangeran Antasari Ahli Strategi Grilya
Pahlawan Nasional asal Kalsel, Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang
sangat gigih melawan penjajah Belanda, kata Bupati Batiola H Hasanuddin Murad.
Selain itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya
Pahlawan Nasional Antasari, dia juga dikenal pribadi yang besar dan
seorang ahli strategi perang grilya yang mampu memimpin dan menggerakan para
pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama.
Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad.
Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol.
Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.”
Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.
Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad.
Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol.
Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.”
Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.
Cut Nyak Dien
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan
pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut
Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang
lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia
akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan
yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI
Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima
Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan
wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri
uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil
Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan
ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai
rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan
hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan
kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana
lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan
tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan
yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan
melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama
serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia,
yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga
XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul
Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan
perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang
mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985:
107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut
pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan
baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya
yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan.
Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan
Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien
turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI
Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya.
Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan
menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati
kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang
buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan.
Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan
Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan
terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian
suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda.
Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas
kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang
bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal
suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan
terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada
tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya.
Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut
balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang
pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak
Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang
sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien
mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai
istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku
Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya,
mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan
buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien
mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda.
Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas
peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan
dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan
perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang
menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau
dengan istilah berdamai sekalipun.
Dewi Sartika…Pahlawan
Wanita Dari Tanah Sunda
Pada tanggal 19 Juli 2008 saya,
permaisuri dan Firman mengunjungi rumah Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah
Sunda………… Rumah yang terletak di Jl.Dewi Sartika – Cicalengka – Kabupaten
Bandung itu terlihat asri dan khas kediaman priyayi jaman dulu.
Kami tidak bisa masuk
memang…..Namun dari luar suasananya mencerminkan kearifan beliau itu masih
ada……Sayang kami tidak bisa lama di sana….Maklum tempat tersebut belum dibuka
untuk umum…….
Berikut cuplikan sejarah beliau
dari Wikipedia:
Dewi Sartika (Bandung, 4
Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan
untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari
keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski
melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke
sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya
(kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau
mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat
diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan
kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan,
beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa
Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta,
arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun,
ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata
dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata)
memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di
Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan
cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya
sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang
sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan
cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya
mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak
pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan
mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di
Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum
perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi
Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda,
memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi
pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16
Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama
se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua
saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya
terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga
kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi
Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati
Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita
bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun
1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa
lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan
dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa
Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Pangeran Diponegoro (1785-1855)
Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa
kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran
akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela
kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda
dengan cara licik, rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak
akan pernah menyesal karena beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak
berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya
sendiri.
Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati,
kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap
bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta
tanggal 11 November 1785, ini.
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini
menunjukkan kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau
menolak mengingat bunda yang melahirkannya bukanlah permaisuri.
Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti
sangat disayangkan. Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas
pun dilakukan. Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada
sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang bersih. Beliau tidak
mau menerima apa yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang
dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut.
Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati
apa yang menurut beliau menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika
memperhatikan sikap beliau ketika melihat perlakuan Belanda di Yogyakarta
sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima ketika melihat campur
tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai
peraturan tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat
merendahkan martabat raja-raja Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan
sifat kepemimpinan dan kepahlawanan beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan
selalu menggunakan politik ‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun,
Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para bangsawan di sana sering di adu domba
Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba saling mencurigai, tanah-tanah
kerajaan pun semakin banyak diambil oleh Belanda untuk perkebunan
pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu.
Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap
tidak senang dan memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di
Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian, Belanda malah menuduhnya menyiapkan
pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan
penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang Diponegoro pun telah dimulai.
Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa
mundur, dan selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong. Perang
dilakukan secara bergerilya dimana pasukan sering berpindah-pindah untuk
menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak Belanda. Taktik perang gerilya
ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya unggul dan banyak menyulitkan
pihak Belanda.
Namun setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun
benteng-benteng di daerah yang sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan
Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda
pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang mengadakan perlawanan agar menghentikan
perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun 1829 perlawanan dari rakyat pun semakin
berkurang.
Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan
Diponegoro, dengan berbagai cara terus berupaya untuk menangkap pangeran.
Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa
saja yang bisa menangkap Diponegoro. Diponegoro sendiri tidak pernah mau
menyerah sekalipun kekuatannya semakin melemah.
Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah
berhasil, maka permainan licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke
Magelang untuk berunding, dengan jaminan kalau tidak ada pun kesepakatan,
Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman. Diponegoro yang jujur dan
berhati bersih, percaya atas niat baik yang diusulkan Belanda tersebut. Apa
lacur, undangan perundingan tersebut rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk
menangkap pangeran ini. Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830,
beliau ditangkap dan dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke
Ujungpandang.
Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam,
Ujungpandang, akhirnya pada tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya
pun dimakamkan di sana. Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah
mau menyerah pada kejaliman manusia.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai
pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6
November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837)
yang gigih melawan Belanda.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir
di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas,
bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar
kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi
Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu
(http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).
Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO
Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam
Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964,
yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy
Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan
penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara
Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober
2007).
Mitos kepahlawanan
Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil
torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi
akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si
penulis.
Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri.
Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus
menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan.
Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan
sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro,
Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian
dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State
in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam
Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk
sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga
kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda
sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan
negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang
telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman
perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini
dikenal sebagai pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem
sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi
teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal
berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin
dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang
mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi
pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik
sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang
itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan
Mandailing atau Batak umumnya.
Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek
(pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang,
sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi.
Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin
Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803
seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum
Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—
transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber
pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan
selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum
Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah
melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau
dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang
sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB
(hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan
Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16
Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri
Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een
bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol
1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan
pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah
diperbuat TIB.
Raden
Ajeng Kartini (1879-1904)
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan
surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan
kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa
besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari
diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam
memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas
kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di
Jepara dan Rembang.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita
negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum
diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum
diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa
tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita,
juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria,
serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan
keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa
Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa
memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu
dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese
Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit
sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya
dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar,
gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah
sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati.
Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah
disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk
memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu
menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya
itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah
kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit,
menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut
bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana
mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa
menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun
telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai
karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya
pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat,
seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan
pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang
di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang
dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya
dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda
berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang
terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan
wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi
perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya
kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi
yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya.
Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun,
yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.
Mengingat besarnya jasa
Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno,
Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal
21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian
dikenal sebagai Hari Kartini.
Biografi
Biografi
Nama: Raden Ajeng
Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
Kumpulan surat-surat:
- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
Ki Hajar Dewantara
Seorang tokoh seperti
Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niatdeschooling tersebut
berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang
mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. “…bagi banyak orang,
hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata Illich.
Demikian pula halnya dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah
seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang
tertahankan”.
Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta
kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah
mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas
keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu
dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan
ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini
dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan.
Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta
kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan
kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari “strategi” untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif
sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya
semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu
akan semakin tinggi.
Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan
pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional
karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya
sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing
ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi
juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang
gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah
diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang
demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang
tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara
juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar
pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari
lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah
Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA
(sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai.
Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya
Tama, Midden Java, De Express,Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong
penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik
serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan
muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti
di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang
di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal 25
Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr.
Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan
hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11
Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah
Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini
dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat
dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda
!
Sisingamangaraja XII
Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu
itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera
sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam
situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang
masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang.
Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang”
atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti
perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada
waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan”
(Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan
melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli
Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal,
Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan
Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua
bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah
Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan
seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada
Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu
daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir,
belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak
yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan
tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja
Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang
berlangsung 30 tahun lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda,
sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima
Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru
setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu
batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh
Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang
dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat
di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi
Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada
situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi
memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan
Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk
menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di
Aceh.
Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di
Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih
sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang
namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten
Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda
pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya
Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja
Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik
darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Kemudian oleh Yayasan
Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas
Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas
Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli
Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.
0 komentar:
Posting Komentar